optimisme ntu kudu perlu..

optimisme ntu kudu perlu..
perjuangan masih panjang akh...

Minggu, 07 Maret 2010

PANGGIL AKU ZAHRA...


By : Fachry Ahmad M. Nur Harahap

Takkan selamanya tangan ini mendekapmu..
Takkan selamanya raga ini menjagamu..

Suara khas Ariel Peterpan, si empunya lagu, mendayu merdu dari telepon genggam miliknya untuk kesekian kalinya. Ada rasa jengah menyeruak. Dengan malas diangkatnya panggilan tersebut. Suara seorang perempuan diseberang.

“ Rose, kamu dimana? Anak-anak sudah menunggu kamu dari tadi. Cepat ya!”. Klik. Mati. Huff. Nafasnya berembus berat.

Kalau saja tidak ada gadis itu disana, pasti dia tidak akan menghadiri acara itu. Dia segera bergegas. Sebuah jaket bertuliskan ‘ Pers Mahasiswa ‘ membalut busananya yang modis. Ditatapnya cermin. Ah, itu bukan dia. Dia tidak menemukan dirinya disana. Sesosok wanita dengan busana muslimah yang indah ada disana, lalu tersenyum kepadanya. Dia terperanjat, wanita itu adalah dirinya. Dipandanginya kembali pakaiannya. Kemeja putih, jaket dan celana jeans masih melekat ditubuhnya. Lalu siapa wanita di dalam cermin itu?. Ditatapnya kembali cermin. Perlahan bayangan wanita itu mulai kabur berganti dirinya. Tapi ia tahu betul pantulan di cermin tadi adalah dirinya. Pikirannya mulai kacau. Segera dia beranjak pergi dari depan meja riasnya, lalu memacu mobilnya menembus jalan raya. Wanita di dalam cermin masih tersenyum, dan perlahan senyumnya mulai kabur. Siang kian jalang.

****

Ketika musim semi datang, aku tumbuh dengan kuntum-kuntum yang indah dan duri-duri yang gagah..
Saat musim gugur tiba, tak kurelakan tangkaiku patah..
Saat musim panas menerpa, aku tak pernah goyah..
Saat musim dingin yang membekukan datang.. takkan kubiarkan sebutir salju pun singgah…
Aku adalah sekuntum mawar surga..

Dibacanya berulang kali puisi tersebut. Mencoba memahami makna dari untaian kata-katanya. Tapi kali ini ia tidak berhasil. Kata-kata itu telah menyihirnya menjadi bodoh. Ia coba lagi menyusuri huruf-huruf itu. Ah, bukan, lebih tepatnya kata-kata itu. Dia membiarkan imajinasinya berkelana sejenak. Menari-nari diantara rangkaian huruf dari puisi tersebut. Dalam perjalanannya ia tersesat dalam sebuah ruang hampa. Pengap. Dia kenal ruang itu. Ruang itu perasaan gundahnya selama ini. Dia menerka-nerka, apakah ini jawaban dari kegelisahannya. Dia menemukan jawabannya. Ya, puisi ini adalah jawaban yang selama ini dicarinya. Hingga sebuah suara menyadarkan ia dari pengembaraannya.

“ Mbak Rose tidak apa-apa kan?”
Suara merdu gadis itu lagi. Matanya mengerjap. Gadis itu tersenyum manis. Dia balas tersenyum.
“ Ehm.. mbak nggak apa-apa kok.” Dia membetulkan tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya. Gadis itu mengambil posisi duduk di sebelahnya.

“ Nisa perhatikan, mbak Rose dari tadi melamun. Sudah hampir sejam lho mbak. Mbak ada masalah?”

Ah, selama itukah dia tersihir oleh kata-kata dalam puisi itu?

“ E..enggak kok Cha, mbak hanya kecapekan saja barangkali. Ngomong-ngomong, puisi Cha yang ini bagus sekali dik.” Dia berkilah. Tapi tidak untuk puisi itu. Pujiannya terlalu sederhana untuk puisi yang terlahir dari goresan tangan gadis berhati lembut ini.

“ Mbak terlalu memuji, Cha rasa biasa saja mbak, Cha mah belum ada apa-apanya di banding penulis seproduktif mbak.”

Dia tersenyum mendengar pujian gadis itu. Ada bantahan dalam hatinya. Nisa menulis dengan perasaan cinta. Sementara dirinya menulis dengan perasaan yang tak menentu. Meskipun teman-temannya salut terhadap kemahirannya dalam meracik kata-kata hingga menjadi sebuah tulisan yang sangat bagus, dia merasa dirinya belum sebanding dengan gadis itu. Junior yang mengenalkan dunia yang sesungguhnya pada dirinya.

“ Oh ya, mbak siang ini tidak ada kuliah lagi kan?” tanya gadis itu. Dia menggeleng.

“ Ba’da zhuhur, insya Allah ada ta’lim bersama UKMI Ar- Rahman di Masjid kampus, selepas ashar juga ada acara bedah buku “ Benturan antar Peradaban” karyanya S. Huntington di Aula masjid. Mbak Rose bisa datang, kan? Ya, hitung-hitung menambah ilmu mbak.”

“ Insya Allah, mbak akan hadir. Mbak mau menyelesaikan pekerjaan dulu ya, masih banyak tulisan yang belum di edit nih.” Gadis itu mengangguk mantap. Nisa kemudian ikut membantunya mengedit tulisan-tulisan untuk majalah kampus edisi depan. mereka berdua bekerja penuh semangat.

****


Disaat kamu mengenali siapa dan untuk apa dirimu hidup,
Disitulah kau akan menyadari betapa lemahnya dikau..

Kata- kata itu terngiang kembali di ingatannya. Kata-kata yang tak pernah bisa dilupakannya seumur hidup. Dia kembali merefresh kenangannya bersama Ratna, sahabatnya sewaktu SMA yang telah tiada saat dia masih duduk di kelas dua. Ratna, temannya yang alim itu menasehatinya tentang arti hidup.

“ Bagiku, arti hidup tidak lebih seperti kita bermain dengan apa yang kita sukai, kemudian saat kita bosan, kita akan meninggalkan mainan itu.” Ujarnya mantap.
“ Kau baru saja berada di titik terendah dari sebuah pemikiran, Rose.”
“ Menurutmu?”
“ Tidak pernahkah kau berfikir bahwa hidup itu sebuah perjuangan yang panjang?” Ratna balik bertanya.
“ Aku tak pernah berfikir sampai kesana, teman. Aku menikmati apa yang ada saat ini.”
‘ Itu karena kau bisa dapatkan apa yang kau mau. Bagaimana jika dirimu adalah pengemis dijalanan yang harus meminta-minta demi memperoleh sesuap nasi?”
“ Kata-katamu menyudutkan aku Ratna. Sayangnya aku bukan pengemis itu.” Dia tertawa enteng menanggapi pertanyaan sahabatnya itu. Ratna hanya tersenyum.
“ Kau merasa kuat Rose, suatu saat kau akan temukan jawabannya.”

Dipandanginya foto bersama almarhumah sahabatnya itu. Relung hatinya merutuk mengapa dia menganggap remeh kata-kata Ratna saat itu. Kini dia mulai sadar bahwa apa yang dikatakan oleh Ratna dulu benar. Dia terlalu congkak, merasa diri kuat dan hebat.
Disaat dia mulai mencoba mengenal dirinya, dia perlahan merasa paling hina.

“ Maafkan aku, Ratna. Aku mulai sadar siapa diriku kini.” Hatinya berbisik. Ada bulir airmata yang melompat dari sudut matanya.

****

Rosevine Abijaa. Mahasiswi cantik, yang duduk di semester 6(enam) jurusan sastra Inggris, Universitas Negeri Medan itu kini mulai berubah. Jurnalis kampus dengan segudang prestasi itu kini memakai jilbab, walaupun masih tetap dengan jeansnya yang tidak terlalu ketat.

“ Ehm.. ada yang beda dengan penulis cantik kita hari ini.” Erwin, komisaris kelas yang menaruh hati padanya berkomentar pagi itu. Dia hanya tersenyum mendengar komentar dari rekan- rekan sekelas yang heran melihat perubahan pada dirinya. Dia sebenarnya heran dengan apa yang terjadi. Apa mungkin dia hanya terpesona sesaat dengan Nisa, hingga harus merubah apa yang di anugerahkan Tuhan sebelumnya. Atau ini semua karena siraman rohani dari pengajian-pengajian yang diikutinya beberapa bulan ini? Entahlah. Dia sendiri ragu pada dirinya.

Kegiatannya sebagai jurnalis kampus tetap berjalan lancar. Bahkan ketika Rektor memberikan penghargaan sebagai penulis terbaik dalam ajang Pekan Jurnalistik Kampus, namanyalah yang muncul di urutan pertama. Dia hadir dengan wajah baru yang dinilainya misterius. Dia kembali bercermin. Sosok wanita itu tetap muncul. Wanita dengan balutan baju taqwa, lalu tersenyum padanya. Dia yakin wanita itu adalah masa depannya yang terlupakan.

****

“ Allah itu Maha Pengampun dik. Ampunan Allah jauh lebih besar di banding kesalahan hamba-hambanya, sejauh hamba itu sadar akan kesalahannya dan tidak mengulang kesalahan itu lagi.” Kata-kata mbak Zihah, murabbiyahnya mampu menelusup jauh di lubuk hatinya.
“ Aku merasa diriku saat ini paling bodoh mbak. Mengapa hati ini dari dulu menolak kebenaran bahwa diri ini adalah makhluk yang lemah.” Ujarnya sendu.
“ Astaghfirullah, tidak boleh menyesali diri seperti itu ukhti. Manusia memang seperti itu. Kita tidak boleh menghakimi diri sendiri.”
“ Tidak ada kata terlambat untuk menjadi yang lebih baik dan memulai kebaikan. Lihatlah betapa besar nikmat Allah kepada kita. ‘lalu nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kamu dustakan?” kata-kata mbak Zihah bagai pisau yang menusuk dan mencabik-cabik tabir keangkuhan yang selama ini menyelimuti segumpal darah dalam tubuhnya, yakni hatinya. Ada ribuan atom-atom motivasi dari kata-kata murabbiyahnya tersebut. Dia tersenyum. Ada sebuah harapan besar di pelupuk matanya. Sebuah perubahan.

*****


Aku adalah mawar surga yang merekah di bumi..
Memberikan keharuman suci disekelilingku, menebar aroma keindahan yang bisa dirasakan jiwa-jiwa yang agung..
Takkan kubiarkan tangan-tangan kotor memetik tangkaiku..
Karena duri-duriku adalah besi-besi keimanan yang tak terjamah oleh keangkuhan…

Jika ada orang yang tidak berubah maka eksistensinya perlu diragukan. Bunga ditaman pasti layu, anak kecil akan beranjak dewasa, waktu pasti berganti. Tidak ada sesuatu di jagat raya ini yang tak mengalami perubahan, kecuali Tuhan. Setidaknya, itulah yang diyakininya saat ini. Tiga bulan sudah ia berada di negeri orang, Australia. Dia terpilih pada pertukaran mahasiswa berprestasi bersama tujuh orang rekannya. Besok ia akan pulang ke Indonesia. Ada sebingkai rindu yang terbungkus manis untuk semuanya. Dia sudah rindu Nisa, gadis cantik yang sudah dianggapnya sebagai adik. Gadis itulah yang telah menuntunnya dalam mengenal siapa dirinya. Ditulisnya sebuah puisi tentang bunga, persis seperti puisi Nisa yang dulu menyihirnya. Kini dia telah mampu menulis dengan senyum dan perasaan cinta.


Bunga-bunga lain merasa iri dengan pesonaku..
Karena aku cantik? Ah, kurasa tidak..
Aku hanya mawar surga yang merekah dan menebar aroma suci di Bumi Allah ini..
Mungkin mereka iri kenapa aku begitu di cinta..
Setiap bunga pasti ingin diperlakukan hal yang sama..
Aku ingin kuntumku tetap bersemi di empat musim..
Tak semusimpun dapat menggugurkan kuntum, maupun sehelai daun dari tangkaiku..
Apa aku melawan takdir..
Ah, kurasa tidak.. itu hanya sebuah keistiqomahan yang kubangun dengan susah payah..
Karena aku hanya sekuntum bunga..

*****

Dia berdiri memandangi sekitarnya. Panorama hijau itu adalah kampus tempatnya menimba ilmu. Hembusan angin semilir menerpa wajahnya. Mengibarkan jilbab panjang yang menutupi kepalanya. Tidak ada polesan make up ataupun jeans lagi. Baju taqwa kini telah membalut anugerah Allah tersebut. Bibirnya basah dengan lafazh Ilahi. Ada seseorang yang ingin di temuinya. Sudah disusunnya sebuah kalimat untuk berbicara.

“ Assalamu’alaikum.” Suara merdu gadis itu lagi. Dia tersenyum, ini yang ditunggunya sedari tadi. Dia menoleh.
“ Wa’alaikumussalam ukhti.” Gadis itu berlari menghambur kepelukannya.
“ Mbak Rose apa kabar? Cha rindu berat nih.” Dia tersenyum. Masih sama, tetap manja.
“ Alhamdullillah, mbak sehat-sehat aja. Mbak kangen sama Nisa.”
“ Nisa juga mbak. Sebentar lagi kita bakal berpisah. Mbak bakal wisuda, tidak ada lagi yang bakal mengajari Nisa jadi seorang penulis yang handal.”
“ Nisa harus tetap semangat dong. Nisa itu penulis hebat yang pernah mbak kenal. Novel Cha kemarin sudah mbak baca kok. Two thumbs up for you ukhti.”
“ Danke, mbak. Itu semua juga berkat mbak Ros..” tangannya bergerak cepat memberi isarat di bibir gadis itu.
“ Mulai saat ini jangan panggil mbak Rose lagi ya! Panggil aku..Zahra.”

Sebuah nama yang dipilihnya setelah hijrah dan memahami Islam dengan seutuhnya. Nama yang diambilnya dari novel ‘ Wanita dan Bunga ‘ karya Nisa, adiknya itu.

“ Subhanallah, iya deh, mulai saat ini Cha akan panggil mbak Zahra.”
“ Syukran ya ukhti.”
“ Afwan.”

Burung camar yang terbang diantara pepohonan bertasbih gembira. Kini telah ditemukannya arti dari sebuah hidup. Persaudaraan, persahabatan dan cinta telah mengajarkannya arti sebuah perjuangan.



Medan, 7 Maret 2010
Ditulis buat saudariku, Khairunnisa Sambas yang berulangtahun hari ini
Juga buat Dian Rahmi, Semoga kalian berdua jadi muslimah sejati.
Juga buat para mawar-mawar suci lainnya…
Label : Vista Wall | supercar | accessories | car body design | office property | Anime | woman |

0 komentar:

Posting Komentar

Motto Que

kebiasaan itu belum tentu baik, tapi yang baik itu perlu dibiasakan..

AKU RAMAH BUKAN BERARTI TAKUT
AKU TUNDUK BUKAN BERARTI TAKLUK